Beranda | Artikel
Waspada terhadap Ahli Kitab – Tafsir Surah Ali Imran 75
5 hari lalu

Waspada terhadap Ahli Kitab – Tafsir Surah Ali Imran 75 adalah kajian tafsir Al-Quran yang disampaikan oleh Ustadz Abu Yahya Badrusalam, Lc. Kajian ini beliau sampaikan di Masjid Al-Barkah, komplek studio Radio Rodja dan Rodja TV pada Selasa, 22 Jumadil Akhir 1446 H / 24 Desember 2024 M.

Waspada terhadap Ahli Kitab – Tafsir Surah Ali Imran 75

Kita masuk ke ayat 75. Allah Ta’ala berfirman:

وَمِنْ أَهْلِ الْكِتَابِ مَنْ إِنْ تَأْمَنْهُ بِقِنْطَارٍ يُؤَدِّهِ إِلَيْكَ وَمِنْهُمْ مَنْ إِنْ تَأْمَنْهُ بِدِينَارٍ لَا يُؤَدِّهِ إِلَيْكَ إِلَّا مَا دُمْتَ عَلَيْهِ قَائِمًا ۗ ذَٰلِكَ بِأَنَّهُمْ قَالُوا لَيْسَ عَلَيْنَا فِي الْأُمِّيِّينَ سَبِيلٌ وَيَقُولُونَ عَلَى اللَّهِ الْكَذِبَ وَهُمْ يَعْلَمُونَ

“Di antara Ahli Kitab ada orang yang apabila kamu berikan amanah berupa harta yang banyak, ia akan melaksanakan amanah itu kepadamu. Dan di antara mereka ada pula orang yang apabila kamu berikan amanah kepadanya satu dinar, ia tidak akan melaksanakan amanah itu kepadamu, kecuali jika kamu berdiri untuk terus mengawasinya. Hal itu karena mereka mengatakan, ‘Tidak ada dosa bagi kami terhadap orang-orang buta huruf (bangsa Arab).’ Mereka berkata dusta terhadap Allah, padahal mereka mengetahui.” (QS. Ali ‘Imran [3]: 75)

Ayat ini menjelaskan tentang kondisi Ahli Kitab, baik Yahudi maupun Nasrani. Allah Subhanahu wa Ta’ala menyebutkan bahwa di antara mereka ada yang dapat dipercaya dalam urusan muamalah. Jika diberi amanah dengan harta yang banyak, mereka akan menunaikannya. Namun, ada juga di antara mereka yang tidak amanah, bahkan jika diberi amanah hanya satu dinar, mereka tidak akan mengembalikannya kecuali dengan pengawasan ketat.

Allah menyebutkan alasan mereka yang tidak amanah. Mereka berkata:

لَيْسَ عَلَيْنَا فِي الْأُمِّيِّينَ سَبِيلٌ

“Tidak ada dosa bagi kami terhadap orang-orang buta huruf.”

Yang dimaksud dengan “ummiyin” adalah bangsa Arab, yang saat itu dianggap tidak bisa membaca dan menulis. Pernyataan ini menunjukkan penghinaan mereka terhadap bangsa Arab, seolah-olah bangsa Yahudi merasa lebih unggul dalam segala hal.

Tidak hanya itu, mereka juga berdusta atas nama Allah dengan mengatakan bahwa tindakan tersebut adalah bagian dari syariat mereka. Mereka menisbatkan kebohongan ini kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala, padahal mereka tahu itu tidak benar.

Lalu Allah Ta’ala menegaskan:

بَلَىٰ مَنْ أَوْفَىٰ بِعَهْدِهِ وَاتَّقَىٰ فَإِنَّ اللَّهَ يُحِبُّ الْمُتَّقِينَ

“Iya, barangsiapa memenuhi janji dan bertakwa, maka sungguh, Allah mencintai orang-orang yang bertakwa.” (QS. Ali ‘Imran [3]: 76)

Dari dua ayat ini, SyaikhIbnu Utsaimin Rahimahullahu Ta’ala menyebutkan beberapa faedah yang dapat kita ambil:

1. Ahli Kitab Terbagi Dua Golongan

Orang-orang Ahli Kitab terbagi menjadi dua golongan: yang amanah dan yang khianat. Di antara mereka ada yang amanah, seperti Abdullah bin Salam, yang kemudian masuk Islam, dan Ka’ab bin Al-Asyraf. Mereka yang amanah rata-rata akhirnya memeluk Islam. Sebaliknya, golongan yang tidak amanah umumnya tetap dalam kekufuran mereka.

2. Kewaspadaan terhadap Ahli Kitab

Kita wajib berhati-hati terhadap Ahli Kitab, karena mereka terbagi menjadi dua golongan: amanah dan tidak amanah. Kita tidak bisa memastikan apakah seseorang dari mereka amanah atau tidak terhadap kita.

Allah Ta’ala telah memperingatkan dalam firman-Nya:

وَلَنْ تَرْضَىٰ عَنْكَ الْيَهُودُ وَلَا النَّصَارَىٰ حَتَّىٰ تَتَّبِعَ مِلَّتَهُمْ ۗ…

“Orang-orang Yahudi dan Nasrani tidak akan pernah ridha kepadamu hingga kamu mengikuti millah mereka.” (QS. Al-Baqarah [2]: 120)

Ini menunjukkan bahwa sejak dahulu, tujuan orang-orang Yahudi adalah untuk merendahkan Islam dan kaum muslimin.

3. Kesombongan Ahli Kitab

Ahli Kitab merasa ujub (bangga diri) terhadap diri mereka sendiri, serta menganggap rendah orang lain. Mereka memandang diri mereka lebih baik daripada yang lain, termasuk terhadap umat Islam.

Sebagai seorang muslim, sifat ujub ini tidak pantas dimiliki. Ujub adalah dosa besar. Sebagaimana dijelaskan oleh Al-Imam Ibnu Qayyim, sifat ujub, sombong, dan riya’ lebih besar daripada dosa-dosa besar yang bersifat lahiriah.

4. Ahli Kitab Menisbatkan Kezaliman kepada Syariat

Ahli Kitab tidak hanya melakukan kezaliman, tetapi mereka juga menisbatkan kezaliman tersebut kepada syariat Allah. Mereka sering mengklaim bahwa perbuatan mereka didasarkan pada ajaran agama, padahal tidak ada dalil dari kitab suci mereka yang mendukungnya.

Hal ini menjadi pelajaran bagi kita. Jika ada orang Islam yang melakukan bid’ah lalu menisbatkan hal tersebut sebagai syariat Allah tanpa dalil, maka mereka tidak berbeda dengan Ahli Kitab yang berdusta atas nama agama.

5. Bahaya Berdusta atas Nama Allah

Orang yang mengada-ngada kedustaan atas nama Allah, baik dalam memberikan fatwa maupun ketika menghukumi manusia, telah menyerupai orang-orang Yahudi dan Nasrani. Membahas fatwa atau berbicara tentang agama adalah perkara yang sangat berat. Sebab, ketika seseorang berbicara tentang agama (din), berarti dia sedang membawa syariat Allah.

Al-Imam Ibnu Qayyim Rahimahullah menulis sebuah kitab berjudul I’lamul Muwaqqi’in ‘An Rabbil ‘Alamin. I’lam berarti pemberitahuan, sedangkan al-muwaqqi’in berarti orang-orang yang menandatangani. Para ulama menjelaskan bahwa yang dimaksud Ibnul Qayyim adalah orang yang berfatwa itu seperti menandatangani pernyataan bahwa inilah yang diinginkan oleh Allah dan Rasul-Nya, inilah syariat Allah.

Oleh karena itu, orang yang berfatwa dalam masalah agama, jika tidak berhati-hati, dapat membawa musibah besar.

Kehati-hatian Salafush Shalih dalam Fatwa

Para Salafush Shalih sangat berhati-hati dalam memberikan fatwa. Mereka bahkan merasa senang jika ada sahabat lain yang dapat menjawab pertanyaan yang diajukan kepada mereka.

Dalam sebuah riwayat, disebutkan bahwa ada seorang tabi’in yang bertanya kepada seorang sahabat. Sahabat tersebut menyuruhnya bertanya kepada sahabat lain, yang kemudian mengarahkan lagi ke sahabat berikutnya. Hal ini menunjukkan betapa besar kekhawatiran mereka untuk memberikan fatwa tanpa ilmu.

6. Dusta atas Nama Allah

Orang yang berdusta atas nama Allah dalam keadaan tahu bahwa itu salah, dosanya lebih berat daripada orang yang berdusta atas nama Allah tanpa pengetahuan. Orang yang berdusta dalam keadaan tahu tidak memiliki uzur atas perbuatannya.

Adapun orang yang tidak tahu, terdapat dua kondisi. Jika dia tidak tahu tetapi bersikap sok tahu, maka ini sangat berbahaya. Orang seperti ini akhirnya jatuh pada kedustaan atas nama Allah Subhanahu wa Ta’ala. Sebaliknya, jika dia salah karena menyangka sesuatu itu benar, padahal keliru, maka hal ini masih dimaafkan.

Contohnya adalah para ulama ahli ijtihad yang telah berusaha sekuat tenaga menggunakan seluruh kemampuan mereka, tetapi Qadarullah mereka tetap salah. Meski salah, perbuatan mereka bukanlah kedustaan yang disengaja. Hal ini termasuk jenis kesalahan yang dapat dimaafkan.

7. Bahaya Kebodohan Berlapis (Jahl Murakkab)

Isyarat lain yang dapat diambil adalah bahwa kebodohan kuadrat/berlapis (jahl murakkab) lebih buruk daripada kebodohan ringan (jahl basit).

Kebodohan ringan adalah sebatas tidak tahu. Misalnya, jika seseorang ditanya sesuatu dan dia menjawab, “Saya tidak tahu,” itu adalah kebodohan ringan. Namun, kebodohan berlapis terjadi ketika seseorang tidak tahu tetapi bersikap sok tahu, bahkan sampai mengada-ngada. Inilah yang disebut jahl murakkab. Kebodohan seperti ini mencerminkan akhlak orang-orang Yahudi.

Bagaimana pembahasan lengkapnya? Mari download mp3 kajian yang penuh manfaat ini.

Download MP3 Kajian Tentang Waspada terhadap Ahli Kitab – Tafsir Surah Ali Imran 75


Artikel asli: https://www.radiorodja.com/54828-waspada-terhadap-ahli-kitab-tafsir-surah-ali-imran-75/